Paid/Published Blog, Article, and Release Portfolio
Sejak awal bulan September ini, PT. KAI mulai menempelkan stiker merah muda bergambar perempuan di gerbong pertama dan terakhir setiap KRLnya. Stiker ini bertuliskan “Kereta Khusus Wanita”. Sejak sosialisasi, aku sudah ‘menolak’ program PT. KAI ini. Alasan pelecehan seksual terhadap wanita di dalam kereta menurutku tidak cukup baik. Pasalnya, aku sendiri sudah naik kereta api selama 15 tahun sejak kelas 1 SLTP dan saat itu belum ada KRL lho. Toh aku, gadis remaja beretnis tionghoa ini, survive dan bisa menjaga diri.
Aku berpendapat bahwa melindungi para perempuan dengan cara ‘mengurung’ mereka tidaklah tepat. Bila hal ini dianggap sebagai cara yang pas dan pantas, mengapa tidak kita lanjutkan saja penggembokan celana dalam terhadap para perempuan pekerja di panti pijat seperti yang dulu marak?
Setelah akhirnya proyek ini berjalan, aku memperhatikan kemajuannya hari demi hari. Aku coba untuk ada di gerbong khusus perempuan dan gerbong ‘normal’. Ada beberapa hal yang aku cermati. Segi positifnya, tentu gerbong depan dan belakang yang hanya dihuni perempuan itu relatif kosong dan nyaman bagi para perempuan. Negatifnya? Mari simak satu per satu.
Gerbong yang relatif sepi itu membuat gerbong lain menjadi lebih padat. Laki-laki tidak lagi menghuni kedua gerbong ujung, sedangkan perempuan tetap menghuni seluruh gerbong yang ada. Dari pengalamanku mencoba kedua gerbong tersebut, gerbong ‘normal’ sangat terasa ketidaknyamanannya. Gerbong ‘normal’ tidak lagi nyaman karena jauh lebih sesak.
Perempuan menjadi lebih egois. Ditiga hingga empat kesempatan yang aku temui, mereka tidak memberi duduk kepada ibu hamil. Aku juga melihat sekali, ada seorang kakek yang diusir untuk berdiri di gerbong ‘normal’ karena ia seorang lelaki.
Laki-laki menjadi lebih egois. Aku baru sekali menemukan dalam 15 tahun ini, ada sebuah gerbong di mana seluruh penumpang yang duduk adalah laki-laki, dan seluruh perempuan yang ada di sana, berdiri. Bukannya aku ingin diberi tempat duduk, tapi pemandangan itu menurutku sungguh diluar kebiasaan.
Setiap pagi dan sore aku memperhatikan obrolan para kaum hawa. Tidak ada satu hari pun aku lewati tanpa mendengar kalimat seperti ini, “kemarin ada ibu-ibu berkumis duduk di sini.” Atau, “pak, mau saya pakein rok?” Aku sungguh prihatin.
Hari ini merupakan hari yang bersejarah. Bagai air yang ditaruh diatas api, walau apinya kecil cepat atau lambat, letupan-letupan kecil akan mulai bermunculan. KRL Ciujung rute Tanah Abang-Serpong yang seharusnya berangkat dari Stasiun Tanah Abang pada pk.17.15 terlambat. Ketika rangkaian datang lewat dari pk.17.30 dengan gerbong yang lebih sedikit dari biasanya, penumpang pun berebut agar dapat masuk. Keberadaan laki-laki di gerbong wanita tidak bisa dihindari. Beberapa saat kemudian, terdengar suara petugas mengusir para laki-laki tersebut. Sebagian keluar, sebagian berusaha nyempil di ujung-ujung gerbong dekat sambungan. Tiba-tiba seorang petugas berteriak dalam amarahnya sambil mengusir dengan paksa beberapa laki-laki yang menyempil itu. Aku sungguh tidak bisa menyalahkan mereka. Gerbong lainnya sudah sangat padat dan hampir mustahil untuk dijejali lagi. Seorang bapak tampaknya memuncak dan berteriak, “mau geser ke mana lagi? Inilah ibu-ibu ini aja yang disuruh turun.” Seketika hampir semua perempuan di gerbong itu nyamber, “huuuuu!”
Aku tidak perlu menceritakan sahut-menyahut yang terjadi selanjutnya. Aku hanya ingin menekankan bahwa proyek ini tampaknya hanya membuat perbedaan dan pertikaian saja. Alangkah baiknya bila gerbong khusus diadakan untuk orang tua, penyandang cacat, dan ibu hamil. Aku rasa mereka lebih memerlukan kekhususan itu secara tempat duduk khusus mereka saja hampir selalu diduduki oleh yang lain.
Penyelesaian masalah a la PT. KAI ini agaknya malah menjadi masalah baru. Aku sungguh berharap agar PT. KAI melakukan evaluasi dan mempertimbangkan kembali proyek ini sebelum keadaan bertambah runyam.
Baca juga tulisan ini di website Desi Anwar, The Daily Avocado: http://bit.ly/bf2c77